Minggu, 11 April 2010

SEBAIK-BAIK MANUSIA

Alhamdulillah, saya ucapkan syukur kehadirat Allah SWT, atas karunia hidayah dan inayahNya hingga kita menjadi hamba-hambanya yang mukmin dan mutaqqin. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabat serta kita semua hingga akhir zaman.
Sungguh beruntung siapapun yang dititipi Allah harta kekayaan melimpah, gelar kesarjanaan berderet, yang menggambarkan betapa mumpuni ilmu yang dikuasainya. Amat beruntung pula orang yang dititipi-Nya pangkat, jabatan atau kedudukan yang tinggi di dunia ini.
Akan tetapi, Demi Allah …. yang paling beruntung dari semua itu adalah orang yang dikaruniai aneka kelebihan oleh Allah SWT dan kesanggupan untuk memanfaatkannya bagi sebanyak-banyaknya umat manusia. Derajat kemuliaan seseorang dapat dilihat dari sejauhmana dirinya memiliki nilai manfaat bagi orang lain. Dalam hal ini, Rasulullah saw bersabda :
“Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain”. (HR. Bukhari)

Hadits ini seakan mengatakan bahwa jika ingin mengukur sejauhmana derajat kemuliaan akhlak kita, maka ukurlah sejauh mana nilai manfaat diri ini. Kalau mengutip apa yang dikatakan Emha Ainun Nadjib, kita perlu menanyakan pada diri sendiri; apakah kita termasuk kategori manusia wajib, sunnah, mubah, makruh atau malah manusia haram ?
Apa itu manusia wajib? Manusia wajib ditandai dengan; keberadaannya akan sangat dirindukan, sangat bermanfaat, bahkan perilakunya membuat hati orang disekitarnya tercuri. Tanda-tanda yang nampak dari seorang manusia wajib diantaranya, dia seorang yang pemalu yang jarang mengganggu orang lain, sehingga orang lain merasa aman darinya. Perilaku kebaikan lebih nampak dalam kesehariannya. Ucapannya senantiasa terpelihara, tidak berbicara hal yang sia-sia, sehingga lebih banyak berbuat daripada hanya berbicara.
Selain itu, ciri lain manusia wajib, yaitu sedikit kesalahannya. Ia tidak suka mencampuri hal-hal yang bukan urusannya. Ia sangat menikmati ketika memberikan kebaikan bagi orang lain. Hari-harinya tidak lepas dari menjaga silaturahmi, sikapnya penuh wibawa, penyabar, selalu berterima kasih, penyantun, lemah lembut, pandai mengendalikan diri, serta penuh kasih sayang.
Seseorang yang berakhlak baik, tidak terbiasa untuk melaknat, memaki-maki, memfitnah, menggunjing, bersikap tergesa-gesa, dengki, bakhil ataupun menghasut. Ia justru selalu berwajah cerah, ramah tamah, mencintai dan membenci karena Allah. Bahkan marahnyapun karena Allah SWT. Subhannallah… begitu indah hidupnya.
Oleh karena itu, siapapun yang berada didekatnya pasti akan tercuri hatinya. Kata-katanya akan senantiasa terngiang. Keramahannyapun benar-benar menjadi penyejuk bagi hati yang sedang membara. Jika ia tidak ada, maka siapapun akan merasa kehilangan; akan terasa ada sesuatu yang kosong di rongga kalbu ini.
Manusia wajib, kehadirannya akan penuh manfaat, dan ketidakhadirannya akan membuat orang-orang disekitarnya merasa kehilangan. Begitulah kurang lebih perwujudan akhlak yang baik, ia hanya akan lahir dari semburat kepribadian yang baik pula.
Manusia yang sunnah, ditunjukkan dengan “keberadaannya memberi manfaat, namun ketidakhadirannya tidak membuat kita kehilangan”. Tidak ada rongga kosong akibat rasa kehilangan. Hal ini terjadi mungkin karena ketulusan amalnya belum dari lubuk hati yang paling dalam. Hati akan tersentuh oleh hati lagi. Seperti halnya kalau kita berjumpa dengan orang yang berhati bersih, perilakunya benar-benar akan meresap masuk ke rongga kalbu siapapun.
Sedangkan orang yang mubah, ada atau tidak adanya dia, tidak akan berpengaruh. Kerja di kantor atau membolos, sama aja. Tidak memberi manfaat, tetapi juga tidak membawa mudharat.
Adapun orang yang makruh, keberadaannya akan membawa mudharat dan ketiadaannya tidak akan memberi pengaruh apapun. Maksudnya, kalau dia datang ke suatu tempat maka orang merasa bosan atau tidak senang.
Lain lagi dengan orang bertipe haram, keberadaannya malah dianggap menjadi musibah, sedangkan ketiadaannya justru disyukuri. Di saat dia berangkat kerja, justru perlengkapan kantor banyak yang hilang. Maka ketika ini dipecat, semua karyawan yang ada malah mensyukurinya.
Tidak ada salahnya kita merenung sejenak, tanyakan pada diri ini apakah kita ini termasuk yang menguntungkan atau malah hanya jadi benalu saja? Apakah masyarakat merasa mendapat manfaat dengan kehadiran kita? Adanya kita di masyarakat sebagai manusia apa : wajib, sunah, mubah, makruh atau haram ? Wallahu a’lam.

Sumber: Dialog Jum'at Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar